Perbatasan Entikong adalah salah satu dari tujuh perbatasan Indonesia yang dibangun dan dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Perbatasan Entikong lokasinya berada di Kalimantan Barat, tepatnya berbatasan Indonesia dengan Malaysia. Sebagai pintu masuk dan menjadi halaman utama perbatasan negara, maka perbatasan ini dibangun dengan megah dan menjadi salah satu destinasi wisata populer di Kalimantan Barat.
Selain sebagai destinasi wisata bagi wisatawan nusantara dan juga mancanegara, Perbatasan Entikong juga menjadi tempat penelitian banyak peneliti universitas dan juga pemerintah. Karena kedua hal itu, saya memutuskan untuk mengunjungi perbatasan ini, dan sekaligus mengantarkan saya untuk melakukan kegiatan voluntourism.
Penasaran bagaimana pengalaman voluntourism saya di Perbatasan Entikong selama satu bulan lebih? Keep reading.
AKSES MENUJU PERBATASAN ENTIKONG
Perjalanan menuju Entikong ini lumayan panjang dan lama. Saya berangkat menuju kawasan perbatasan Entikong dari Bandara Yogyakarta dan transit di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Kemudian dilanjutkan ke Bandara Supadio, Pontianak. Perjalanan dari Yogyakarta sampai ke Pontianak kurang lebih memakan waktu 6 jam.
Informasi penting yang harus diperhatikan adalah tidak tersedia penerbangan setiap jam menuju Bandara Supadio, Pontianak ini. Namun saat ini sudah tersedia penerbangan langsung dari Yogyakarta ke Pontianak 2x dalam sehari dan hanya dibutuhkan waktu sekitar 2-3 jam saja, tanpa harus transit.
Kondisi jalan menuju perbatasan Entikong |
Dari Bandara Supadio, Pontianak saya masih harus ke terminal Damri yang memakan waktu kurang lebih 30 menit. Untuk menuju kawasan perbatasan Entikong bisa ditempuh dengan bus besar Damri, milik pemerintah Indonesia, atau bus-bus pemerintah milik Malaysia dan Brunei Darussalam yang hanya ada 2x dalam sehari, yaitu pagi pukul 08.00 WIB dan pukul 08.00 WIB malam. Harga tiketnya waktu itu sekitar Rp. 160.000-, untuk 1 kali perjalanan menuju kawasan perbatasan Entikong.
Perjalanan ditempuh sekitar 5-7 jam dari terminal Bus Damri menuju kawasan perbatasan Entikong. Dulu, sebelum dilakukan perbaikan jalan, perjalanan menuju perbatasan ini memakan waktu 10-13 jam, karena kondisi jalan yang sangat rusak. Namun, sekarang sudah dibangun dengan jalan aspal yang sangat bagus, sehingga dapat memotong waktu perjalanan setengahnya.
AWAL MULA MENGAMBIL VOLUNTOURISM DI PERBATASAN ENTIKONG
Kali ini saya akan bercerita pengalaman voluntourism saya di perbatasan negara Indonesia Malaysia tepatnya di Perbatasan Entikong. Awalnya saya mengunjungi perbatasan ini untuk melakukan penelitian kuliah master saya. Sekaligus juga melakukan traveling ke beberapa destinasi wisata yang ada di sekitar perbatasan Indonesia Malaysia ini. Menyelam sambil minum air.
Seperti biasa, jika memungkinkan selagi traveling saya juga akan menyempatkan waktu untuk melakukan voluntourism. Yaitu kegiatan traveling sekaligus melakukan beberapa aksi kecil untuk sosial, ekonomi, atau lingkungan sekitar destinasi wisata.
Kegiatan voluntourism saya sebenarnya hanya aksi kecil dan impeknya mungkin juga tidak begitu besar. Namun saya percaya sekecil apapun aksinya tetapi jika dilakukan terus menerus, apalagi secara bersama-sama, saya yakin aksi kecil ini akan berdampak besar untuk masyarakat di sekitar destinasi wisata.
Selama penelitian, saya tinggal di rumah warga yang sudah ditunjuk oleh kepala desa Entikong. Kebetulan beliau juga sekretaris desa tersebut. Kebetulan sekali, tetangganya adalah guru di sekolah yang letaknya di pedalaman Entikong. Saya pun mengungkapkan niat saya untuk ikut mengajar di sekolah yang beliau ampu.
Setelah mengobrol panjang lebar dengan guru tersebut, akhirnya saya dikenalkan dengan kepala sekolahnya dan singkat cerita saya berkesempatan untuk mengajar di dua sekolah yang beliau pimpin.
Saya mengajar di dua sekolah berbeda. Pembagiannya, Senin sampai Rabu dan Kamis sampai Jumat. Setiap harinya karena karena saya tidak ada kendaraan dan juga tidak hapal dengan medan jalan, saya akan berangkat dengan bapak guru yang mengajar di sana.
SERUNYA PERJALANAN MENUJU SEKOLAH DI PEDALAMANAN PERBATASAN ENTIKONG
Hari pertama saya melakukan voluntourism, saya sangat antusias dan rasanya ingin segera bertemu anak-anak pedalaman tersebut. Pukul 6 pagi bapak guru sudah menjemput saya. Karena perjalanan untuk menuju sekolah tempat saya mengajar membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Bersama satu guru lainnya yang mengajar di sekolah tersebut, kami berangkat.
Jarak ini adalah pengalaman pertama yang membuat saya shock tetapi juga terasa seru. Jadi setiap harinya kami harus menempuh perjalanan ke sekolah-sekolah tersebut sekitar 2 jam untuk sekali jalan dan pulangnya 2 jam, jadi perjalanan total 4 jam.
Shock sekaligus seru kedua saya adalah kondisi jalan. Selama menuju sekolah tersebut, perasaan saya campur aduk. Awal perjalanan, kondisi jalan memang bagus sudah beraspal, dan juga beberapa jalan adalah jalan pasir, lalu adalah jalan batu-batu besar, bisa dibayangkan saat melewatinya, badan rasanya sakit semua.
Salah satu jalan menuju perbatasan Entikong |
Berikutnya kondisi jalannya melewati hutan lebat dan hutan sawit. Semua pemandangannya dikelilingi hutan hijau khas pulau Borneo. Jika kondisi panas, langitnya cerah biru meski masih pagi. Kami juga melewati sungai yang mana kami harus turun terlebih dahulu untuk melewatinya.
Jalan berikutnya adalah tanah merah. Jika musim hujan, tanah-tanah tersebut akan lengket ke ban motor. Maka tak heran kami harus turun dari motor terlebih dahulu untuk melewati jalur yang jaraknya bisa ratusan meter ini. Dan kedua bapak guru harus mendorong motornya dengan jalan menanjak.
Saya pun harus berjalan kaki ratusan meter untuk melewati tanah-tanah licin dan lengket tersebut, kadang saya pun akan membantu bapak guru mendorong motornya. Biasanya kami tiba di sekolah sekitar pukul 8.00 WIT atau 08.30 WIT, tergantung kondisi jalan.
Awal-awal saya mengajar, saya selalu menangis ketika melewati jalur ini. Terharu dengan perjuangan guru-guru di pedalaman ini. Dengan gaji yang tak seberapa, kontribusinya terhadap pendidikan begitu besar. Semoga suatu hari pengorbanan dan kontribusi para guru di pedalaman ini mendapatkan apresiasi dan kehidupannya sejahtera.
Pokoknya perjalanan menuju sekolah ini sangat luar biasa dan two thumbs up untuk semua guru yang mengajar di pedalaman khususnya di perbatasan Entikong ini, saya tak sedikitpun mendengar mereka mengeluh selama saya mengajar di sana.
Belum lagi kondisi jalan yag naik turun. Melewati sungai-sungai kecil yang kalau pas hujan akan meluap. Sampai sepatu kesayangan saya rusak. Selama 1 bulan saya berkutat dengan kondisi jalan seperti ini. Di beberapa area memang dalam proses pembangunan aspal, tapi sebagian lagi ya memang jalannya seperti itu, belum tersentuh pembangunan.
Salah satu jalur menuju sekolah, dalam proses pembangunan |
Lalu bagaimana dengan pulangnya? kami melewati jalur yang sama. Kami biasanya pulang sekitar pukul 13.00 WIT atau 14.00 WIT. Jam segini biasanya jika pas musim panas, udaranya sangat panas dan menyengat. Perbatasan Entikong jika siang hari memang panasnya bisa mencapai 37 derajat, bisa dibayangkan panasnya seperti apa. Hal ini disebabkan karena Kalimantan Barat merupakan daerah di Indonesia yang paling panjang dilewati garis khatulistiwa.
Kulit saya yang alergi panas, awal tinggal di tempat ini termasuk ketika melakukan voluntourism ini terus-terusan memerah dan terasa sekali terbakarnya. Selain itu panasnya juga membuat kepala saya pusing, bahkan sempat mau pingsan karena panasnya. Namun kondisi ini tak menyurutkan saya untuk tetap melakukan voluntourism di perbatasan Indonesia Malaysia ini. Maka tak heran memang lokasi ini jarang sekali tersentuh oleh para volunteer.
Kondisi jalan menuju sekolah, masih jalan tanah |
Cuaca dan kondisi akses menuju sekolah tidak menyurutkan semangat saya untuk bertemu dan berbagi dengan anak-anak di pedalaman perbatasan. Fasilitas untuk proses belajar mengajar masih jauh dari sempurna dan layak. Saya semakin bersyukur karena dulu saya diberikan kesempatan untuk mendapatkan fasilitas sekolah yang sangat layak.
PENGALAMAN VOLUNTOURISM DI SEKOLAH PEDALAMANAN PERBATASAN ENTIKONG
Kondisi ruangan guru |
Hari pertama saya tiba di sekolah, saya melihat sekolah yang sangat tidak layak. Ini adalah shock ketiga saya. Dengan bangunan seadanya, bahkan warga dan sekolah pun belum tersentuh listrik apalagi jaringan internet. Ini shock saya keempatnya. Ok, tarik nafas dalam-dalam biar saya tidak nangis.
Saya pun diajak ke ruang guru yang ruangannya yang sangat tidak layak. Bapak guru memberikan arahan saya untuk tentang kondisi sekolah, fasilitas belajar mengajar, dan kondisi anak-anak. Shock lagi entah yang ke berapa kali.
Setelah itu, anak-anak dikumpulkan di halaman sekolah dan saya diperkenalkan di hadapan anak-anak. Dada saya makin sesak, melihat anak-anak ini menggunakan pakaian seadanya bahkan ada yang tidak menggunakan alas kaki. Terlepas dari itu saya sangat bahagia, karena mereka menyambut saya dengan antusias dan terlihat sangat bahagia.
Sepertinya energi positif mereka sampai ke hati saya, bahagianya anak-anak itu membumbung di hati saya. Senyum tulus dan penuh harapan itu sedikit membantu meredakan air mata yang hampir saja berjatuhan. Iya saya sesensitif itu melihat hal-hal seperti ini.
Senyum dan antusias anak-anak pedalaman ini, membuat saya semakin bersemangat menghabiskan waktu berbagi dengan mereka. Hari pertama, saya berbagi dengan anak-anak kelas 1 dan kelas 3.
Masih di hari pertama, jam pelajaran sudah selesai, waktunya pulang. Mereka antri satu persatu bersalaman dan mencium tangan saya. Mengingatkan saya sewaktu masih SD tentang apa itu sopan santun. Setelah keluar semuanya, saya menutup pintu kelas, saya kaget beberapa anak perempuan dan beberapa anak laki-laki yang mungil-mungil berkerumun dan berhamburan memeluk saya bersamaan di depan pintu.
"Besok ibu guru muda datang ke sini lagi kan?"
Tanya salah satu murid perempuan dengan logat khas melayunya dan masih belum saya ingat siapa namanya hari itu. Mereka memanggilku dengan sebutan ibu guru muda. Entah ide dari mana. Karena sewaktu di kelas mereka tidak memanggilku dengan nama itu.
"Ya dong, ibu guru muda besok ke sini lagi, kan mau ketemu lagi dengan adek-adek, kan kita besok mau menggambar lagi, jangan lupa PR-nya ya dikerjakan di rumah".
Jawabku sembari menjongkokkan tubuhku agar setara dengan anak-anak mungil ini dan mengingatkan mereka soal PR menggambar.
"Asiiiiik besok ibu guru muda ke sini lagi".
Teriak mereka dengan muka senang.
"Ibu guru muda akan lama kan di sini?"
Tukas anak lainnya dengan cepat.
"Mungkin, emang senang ya kalau ibu guru muda ke sini lagi?"
Tanya ku dengan penasaran sambil menatap satu-satu wajah anak-anak yang belum kuhapal kelas berapanya.
"Kami senang sekali ibu guru muda, kami bosan di sini tidak ada ibu guru, di sini tidak ada guru perempuan"
Jawab salah satu murid perempuan.
"Ya sudah sampai ketemu besok ya adek-adek, jangan lupa PR-nya dikerjakan ya".
Jawabku buru-buru, karena melihat guru yang saya tumpangi sudah melambai-lambaikan tangannya, tandanya sudah waktunya pulang.
"Ya ibu guru muda"
Jawabnya serentak.
Anak-anak itu terlihat bahagia dan lari berhamburan sambil meneriakkan nama ibu guru muda. Bahagia dan terharu bercampur aduk. Tak terasa air mata membasahi kelopak mataku. Saya merasa hidup saya sangat berharga hari itu.
Merasa menjadi manusia yang sangat bermanfaat. Mungkin ini masih hal kecil, tapi membuat saya satu langkah merasa lebih bermanfaat untuk orang lain. Betul kata pepatah.
"Kita akan menjadi berharga saat berada di tempat yang tepat".
Setiap hari selama 1 bulan saya berkutat dengan anak-anak SD yang lucu-lucu ini. Saya mengajar di 2 sekolah yang berbeda dan jaraknya lumayan jauh. Hari Senin - Rabu saya mengajar di sekolah A dan hari Kamis - Sabtu saya mengajar di sekolah B. Saya berbagi ilmu dengan anak-anak dari mulai kelas I sampai kelas VI.
Keterbatasan guru membuat kelas digabung dan ini kelas I dan kelas III |
Karena keterbatasan fasilitas dan guru, saya harus mengajar 2 tingkat di satu ruangan. Kelas I dengan kelas III. Kelas II dengan kelas IV dan Kelas V dengan kelas VI. Awalnya kewalahan, karena mereka pasti berisik dan agak sulit diatur, ya namanya juga anak-anak. Mengingat guru di sekolah dasar ini hanya ada 2 orang untuk 6 kelas. Sehingga kehadiran saya cukup membantu para guru di sini.
Lama-lama saya terbiasa dan enjoy aja. Dan senyuman anak-anak di perbatasan Entikong ini membuat saya tidak merasakan lelah apapun. Bahkan yang ada hanya semangat berbagi.
Karena keterbatasan dalam beberapa hal, cara mengajar mereka tidak bisa disamakan dengan sekolah SD pada umumnya yang ada di Pulau Jawa. Sehingga setiap malam saya menyusun cara mengajar yang menyenangkan untuk esok harinya agar mereka tetap bersemangat untuk tetap belajar. Beberapa anak di kelas IV bahkan ada yang belum mengenal huruf abjad dan angka. Artinya belum bisa membaca.
Gambar milik Paler, siswa kelas 3 yang belum menghafal alfabet dan angka, tapi gambarnya selalu juara |
Namun anak ini sangat pintar menggambar. Semua gambarnya menggambarkan anak yang sangat imajinatif. Saya tidak mengukur kecerdasan seseorang dengan angka, namun saya harus tetap memutar otak agar anak ini bisa mengenal alfabet dan angka. Belum lagi kondisi anak lainnya yang sama uniknya. namun jadi tantangan tersendiri buat saya. Dan semakin menghargai peran guru itu sangat luar biasa. Tak ada kata atau apapun yang dapat dibandingkan dengan jasa-jasa mereka.
Selain membangun hubungan di kelas, kadang sepulang sekolah, sambil menunggu guru yang saya tumpangi selesai atau mengerjakan hal lain, saya juga bermain dengan anak-anak di perbatasan Indonesia Malaysia ini. Mereka mengajak saya bermain bola, bermain petak umpet, atau bermain galah di halaman sekolah, bahkan saya sering diajak memetik sayuran di kebun mereka. Atau diajak ke rumah mereka dan membakar ubi. Ah serunya.
Tak jarang juga saya mengobrol dengan orang tua mereka dan diajak ke hutan atau kebun milik mereka. Tak ayal sepulang sekolah saya sering diberikan oleh-oleh hasil kebun makanan dan minuman yang mereka beli dari Malaysia. Bukan sekali dua kali tapi hampir setiap hari. Saya akan pulang membuka sayuran, buah, atau minuman dari orang tua murid.
Ketika di tempat lain saya melihat ada jarak antara guru dengan orang tua murid, di sini saya merasakan mereka begitu menghormati guru yang mengajar anak-anak mereka. Membuat saya terharu. Mereka sangat berterima kasih sekali karena sudah bersedia jauh-jauh dan ikhlas tanpa dibayar berbagi pengetahuan dengan anak-anak mereka. Sesederhana itu membuat orang lain bahagia.
Tibalah saatnya hari terakhir saya mengajar di tempat ini, saya merasa sedih sekali, bahkan dari semalam saya menangis. Ada perasaan tidak rela meninggalkan mereka. Mereka masih butuh bimbingan dan masih butuh uluran tangan saya untuk belajar. Bagaimana tidak, 1 bulan saya bersama mereka, sudah seperti keluarga sendiri, kenal dekat dengan beberapa orangtua murid, ada ikatan batin yang tidak disengaja.
Anak-anak ini sering kali bercerita soal mimpi-mimpi mereka kelak. Ada yang ingin menjadi guru, menjadi polisi, dokter, pilot, bahkan ada yang bermimpi kelak menjadi pemadam kebakaran. Sebuah mimpi-mimpi khas anak kecil.
Menjelang beberapa hari saya selesai mengajar, saya sempatkan ke kota untuk membelikan kenang-kenangan yang bermanfaat untuk mereka. Saya belikan buku gambar lengkap dengan alat gambarnya. Hasil donasi dari teman saya juga. Anak-anak itu bahagia sekali mendapatkan buku gambar itu. Kami harus menangis ketika saya berpamitan, dan mereka meminta saya untuk bisa kembali ke tempat ini lagi suatu hari untuk bertemu mereka.
Semoga Tuhan mengizinkan ya adek-adek, saya doakan semoga kelak semua mimpinya menjadi kenyataan, menjadi generasi muda yang mengharumkan bangsa Indonesia di kancah dunia. Kelak kalian yang akan memimpin bangsa ini.
Banyak pelajaran yang saya dapat dari kegiatan voluntourism di perbatasan Entikong, perbatasan Indonesia Malaysia ini. Terima kasih untuk semua guru di Desa Entikong. Terima kasih untuk semua warga di perbatasan Entikong, dan terima kasih untuk anak-anak cerdas yang sudah memberikan pelajaran berharga dalam hidup saya.
Thank to God, Tuhan memberikan kelancaran saya untuk melakukan voluntourism di perbatasan Entikong, yang merupakan batas negara Indonesia dan Malaysia ini. Meskipun untuk menuju sekolah-sekolah tersebut butuh waktu setidaknya 4 jam perjalanan.
Artikel ini terpilih sebagai salah satu "Top Travel Blogs 2024" dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl.